Cerita Mendagri, Numpang Kapal Kayu dan Kehilangan Tas di Kamar Hotel
By Admin
nusakini.com--Waktu memberi arahan usai melantik Penjabat Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyisipkan kisahnya saat pertama kali mengunjungi Sultra. Katanya, ia mengunjungi Sultra sekitar akhir tahun 80-an. Kalau tak salah, pada tahun 1988, ia datang ke Sultra.
Tentu, kata dia, Sultra yang ia kunjungi bukan Sultra seperti sekarang ini. Tjahjo masih ingat, pergi ke Sultra menumpang kapal laut. Dan, ia pergi ke Sultra, bukan dari Jakarta, tapi dari sebuah pulau di Ambon. Ketika itu, ia pergi ke Sultra bersama dengan rombongan menteri penerangan ketika itu, Harmoko.
"Saya mulai naik kapal dari Ternate, Ambon sampe Sultra. Dulu saya ikut rombongan Menteri Penerangan Pak Harmoko. Mengunjungi ibu-ibu yang kerja home industri, pemecah kacang mete. Dan kemarin saya juga dari Buton," katanya.
Usai pelantikan, Tjahjo meluncur ke kantor Kendari Pos, koran terbesar di Sultra untuk beramah tamah. Dari kantor Kendari Pos langsung meluncur ke sebuah rumah makan, untuk makan siang. Para wartawan dari Jakarta yang diundang untuk meliput diajak makan siang bareng.
Rumah makan, dengan menu andalan goreng ayam kampung jadi pilihan untuk makan siang. Dua wartawan diajaknya duduk semeja. Wartawan yang duduk semeja, satu dari Koran Jakarta, satunya lagi dari harian Suara Merdeka. Sambil menyantap ayam goreng, Tjahjo kembali melanjutkan ceritanya tentang pengalaman dia pergi ke Sultra numpang kapal laut.
"Saya naik kapal ke Sultra dari Ambon, dari pulau apa ya, lupa. Itu yang jadi tempat pembuangan Bung Hatta, tempat tinggal tokoh sejarah, sejarawan. Siapa saya lupa, Alwi, Alwi siapa gitu," kata Tjahjo, coba mengingat kembali pengalamannya naik kapal dari Ambon ke Sultra.
"Eeuuu Des Alwi, mungkin Pak.." tiba-tiba Mas Hartono, salah seorang wartawan yang ikut duduk satu meja dengan Mendagri menjawab. " Ya, benar, Des Alwi, nama pulaunya apa yah, indah sekali pulaunya," kata Tjahjo membenarkan perkataan wartawan tersebut.
"Banda Neira," sahut Agus wartawan Koran Jakarta.
"Ya, benar, Banda Neira, tempat pembuangan Bung Hatta," kata Tjahjo. Tjahjo pun kemudian bercerita. Kata dia, Banda Neira itu pulau yang sangat indah. Lautnya bening. Ketika itu ia diajak Harmoko, mengarungi lautan dengan kapal dari Ambon menuju Sulawesi. Ikut bersamanya, bos TVRI ketika itu Ishadi SK.
Menurut Tjahjo, kapal yang ditumpanginya bukan kapal penumpang modern. Tapi kapal penumpang kayu. Berhari-hari ia arungi lautan dengan kapal kayu. Di kapal itu pula ia merasakan bagaimana cemasnya kala ombak besar menghempas badan kapal. Sampai ia kemudian tiba di Sultra. Kebetulan salah seorang saudaranya ada yang jadi polisi dan bertugas di sana. Saudaranya yang polisi itu pula yang kemudian mencarikan hotel tempatnya menginap.
Tjahjo masih ingat, ada pengalaman yang tak pernah ia lupakan saat menginap di hotel yang dipesan saudaranya itu. Di kamar hotel itu pula, ia kemalingan. Tasnya digondol pencuri. " Itu lucunya, kamar hotel saya itu dipesan saudara saya yang polisi, atas nama polisi pula, tapi di kamar itu saya kemalingan, tas saya dicuri orang," ujarnya.
Setelah usai bersantap, Tjahjo bersama rombongan kembali ke hotel tempatnya menginap selama di Kendari, sambil menunggu jadwal penerbangan pesawat yang akan membawanya pulang ke Jakarta. Pesawatnya dijadwal terbang sekitar pukul 18.00 lebih waktu setempat. Di kafe yang ada di dalam hotel, kembali mantan Sekretaris Jenderal PDIP itu mengajak para wartawan ngobrol ngalor ngidul. Sembari menikmati kopi, Tjahjo banyak bercerita tentang isu -isu politik aktual. Sayang, ia minta itu tak diberitakan. Hanya untuk pengetahuan saja.
Sampai kemudian, Tjahjo kembali bercerita tentang pengalamannya naik kapal kayu, hingga kehilangan tas di kamar hotel. Tjahjo masih ingat, kondisi hotel tempatnya menginap pertama kali di Kendari. Kata dia, hotelnya meski paling bagus, tapi sederhana. Kamarnya diberi kelambu untuk menghindarkan dari serbuan nyamuk. Dan yang paling lucu, sebelum tidur, kamar hotel harus disemprot dulu pakai semprotan pengusir nyamuk. Semprotan pun masih model jadul.
Tapi kini, kata dia, Kendari telah banyak berubah. Sudah berdiri hotel- hotel bagus dan besar. Dan, kamar hotel tentunya tak lagi pergi disemprot cairan anti nyamuk. Tidak lagi berkelambu. Kata dia, itulah pengalaman yang hingga sekarang masih diingatnya. Kenangan yang cukup berkesan.(p/ab)